Wednesday, 11 December 2013

Menggoyang Yingluck

Renne R.A Kawilarang | Jum'at, 6
Desember 2013, 21:04 WIB
VIVAnews – Lebih
dari tujuh tahun ini tampuk
kekuasan di Thailand adalah
kursi yang panas. Pada September
2006, Thaksin Shinawatra
digulingkan militer lewat kudeta
tak berdarah. Sekutu dekatnya,
Samak Sundaravej, dan adik
iparnya, Somchai Wongsawat,
dipecat oleh Mahkamah
Konstitusi. Mereka dituding
menyalahgunakan kekuasaan.
Lalu, pada 2010, politisi Partai
Demokrat, Abhisit Vejjajiva,
diganggu unjuk rasa berdarah
dari para simpatisan Thaksin.
Setahun kemudian, dia kalah
telak oleh Yingluck Shinawatra.
Kini giliran Yingluck pula, yang
tak lain adik kandung Thaksin
itu, digoyang kubu oposisi di
parlemen. Jalanan di Bangkok
kembali membara oleh aksi
protes.
Pertikaian politik intensif sejak
2006 itu menggambarkan
terpecahnya rakyat Thailand
dalam dua kubu. Konflik itu
selalu terkait dengan Thaksin.
Kubu anti Thaksin, yang populer
disebut "Kaos Kuning" berseteru
dengan kubu pro Thaksin, dengan
ciri "Kaos Merah."
Di negeri gajah itu, sang raja kian
sepuh. Di usia 86 tahun, tubuh
Raja Bhumibol Adulyadej tampak
begitu ringkih mengatasi
perpecahan itu. Untunglah, rakyat
masih hormat padanya, juga
kedua kubu yang berseteru. Jika
pada 5 Desember lalu bukan
ulang tahun raja, maka aksi
protes akan kian menggila. Tapi
semua libur pada hari itu, juga
para demonstran.
Dalam pesannya, Raja Bhumibol
meminta rakyat tetap bersatu.
Tapi ia tak memberi jalan keluar
bagi konflik. Ia tak juga memberi
dukungan khusus kepada
pemerintah untuk melawan
demonstrasi anti-Yingluck.
Kini, perempuan berusia 46 tahun
itu terancam digulingkan dari
jabatannya. Ia membuat
keputusan "blunder", yaitu
mengajukan rancangan amnesti
kepada Thaksin dari hukuman
penjara akibat kasus korupsi
yang dijatuhkan hakim pengadilan
di Thailand pada 2008. Thaksin
kini kabur ke luar negeri. Jika
amnesti itu lolos, maka ia bisa
melenggang kembali pulang (Lihat
tulisan bagian 3: Jejaring
Thaksin, si “Malaikat” Kaum
Miskin ).
Itu sebabnya, kubu oposisi
menuding Yingluck sebagai
"boneka" Thaksin. Tuduhan itu
ada dasarnya. Yingluck memang
tak punya pengalaman sebagai
politisi. Tapi ia melejit cepat
hingga menjadi perdana menteri.
Bagi oposisi, Yingluck menang
akibat campur tangan Thaksin di
luar negeri. Si abang masih punya
pengaruh dan jaringan kuat di
elit politik dan para pemilih
Thailand.
Melalui Yingluck, Thaksin diduga
mengatur politik Thailand.
"Rakyat pemilih tidak tahu
bagaimana Yingluck akan bekerja,
karena dia hanya akan
mendengarkan suara kakaknya
lewat telepon. Dia akan menjadi
boneka, yang mendatangkan
kerugian besar bagi dia sendiri,"
kata Deputi Perdana Menteri
Sutheb Thaugsuban jelang Pemilu
Mei 2011, seperti dikutip harian
berbahasa Inggris yang
berpengaruh di Thailand, The
Nation.
Dua tahun kemudian, Sutheb
memimpin aksi jalanan
mengganyang Yingluck. Dia
sengaja mundur sebagai anggota
parlemen dari Partai Demokrat
yang beroposisi untuk bisa
leluasa beraksi. Hingga saat ini
Sutheb dan massanya masih
menuntut Yingluck mundur.
Namun, Yingluck masih percaya
diri dan tidak memenuhi tuntutan
demonstran. "Apa pun yang dapat
saya lakukan demi membuat
rakyat bahagia, akan saya
lakukan. Namun, sebagai Perdana
Menteri, apa saya lakukan harus
sesuai dengan konstitusi yang
berlaku di negara ini," ujar
Yingluck.
Keluarga Terpandang
Yingluck lahir dan besar di
keluarga kaya dan terpandang.
Sebagai anak bungsu, anak
politisi lokal di Chiang Mai itu
tinggal menjalankan dan
mengikuti saja apa yang sudah
dirintis orang tua dan kakak-
kakaknya, terutama Thaksin.
Ia mendapat gelar sarjana
politik di Universitas Chiang Mai
pada 1988, dan tiga tahun
kemudian gelar magister ilmu
sistem informasi manajemen dari
Universiyas Kentucky State,
Amerika Serikat. Yingluck tidak
langsung terjun ke gelanggang
politik. Dia dikaryakan membantu
bisnis keluarga, dengan menempati
sejumlah jabatan strategis di
perusahaan yang dikuasai
kakaknya, Thaksin.
Harian The Nation
mengungkapkan Yingluck pernah
menjadi general manager dan
Deputi Kepala Eksekutif Korporat
(CEO) di Rainbow Media, yaitu
anak perusahaan International
Broadcasting Corporation.
Kemudian dia dipromosikan jadi
CEO Advanced Info Service (AIS),
operator ponsel terbesar di
Thailand (lihat Infografik: Badai
Politik Thailand ).
Yingluck pernah pula menjadi
Direktur Pelaksana SC Asset Co
Ltd., yaitu perusahaan
pembangunan properti milik
keluarga Shinawatra. Dia
menguasai sebagian saham Shin
Corporation, perusahaan induk
AIS yang akhirnya dijual ke
Temasek Holdings.
Itulah sebabnya banyak pihak di
Thailand ragu bahwa keterlibatan
Yingluck dalam gelanggang politik
bukan karena ambisi pribadi. Ia
seperti dikirim oleh kakaknya ke
gelanggang politik. Yingluck hadir,
setelah Thaksin dikudeta oleh
militer pada September 2006, dan
dihukum penjara dua tahun oleh
pengadilan di Bangkok atas
kasus korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan pada
Oktober 2008.
Walau harus kabur ke luar negeri
untuk menghindari vonis hakim,
pengaruh politik Thaksin masih
besar. Dia masih punya basis
dukungan di pedesaan, terutama
di kampung halamannya, di
Thailand bagian utara, termasuk
Chiang Mai. Thaksin pun
mendorong sekutu dan anggota
keluarganya untuk bertarung di
gelanggang politik.
Setelah partainya, Thai Rak Thai,
dibubarkan, Thaksin mensponsori
partai pimpinan adik iparnya,
Somchai Wongsawat, yaitu
Kekuatan Rakyat. Para pengikut
dan sekutu Thaksin langsung
beralih ke partai itu. Somchai
akhirnya ditunjuk Mahkamah
Konstitusi menjadi PM baru
Thailand pada September 2008,
menggantikan Samak Sundaravej,
sekutu Thaksin yang harus
mundur karena memiliki pekerjaan
lain selama jadi perdana menteri.
Namun, Somchai dan partainya
pun bermasalah karena terkait
politik uang. Pada Desember 2008,
dipecat dari jabatan PM dan
partainya pun dibubarkan. Posisi
PM pun diisi politisi Partai
Demokrat, Abhisit Vejjajiva, yang
berseberangan dengan kubu
Thaksin.
Pada titik inilah Yingluck
dilibatkan ke politik. Para
pendukung Thaksin perlu figur
baru. Mereka lalu membentuk
Partai Pheu Thai, yang berarti
Partai Bagi Rakyat Thailand.
Masih muda, perempuan, terlihat
polos, dan cantik sudah menjadi
modal cukup bagi Yingluck
meneruskan pengaruh politik
kakaknya . Walau tak
berpengalaman politik, senyumnya
yang khas mampu mengundang
daya tarik para pemilih, baik tua
maupun muda.
Menurut laman harian Thailand,
Matichon , Yingluck diminta untuk
memimpin partai Pheu Thai.
Tawaran itu dia tampik karena
lebih tertarik mengurus bisnis
sehingga dia minta orang lain
saja yang pimpin.
Tidak heran, menurut laporan
diplomatik ke Washington DC yang
bocor di laman WikiLeaks, dalam
percakapan pada 9 September
2009 dengan Duta Besar AS
untuk Thailand saat itu, Eric
John, mantan deputi perdana
menteri yang juga sekutu dekat
Thaksin, Sompong Amornvivat,
mengaku tidak melihat ada peran
yang besar bagi Yingluck di Partai
Pheu Thai. Lagipula Thaksin
sendiri, ungkap Sompong, tak ingin
mengorbitkan Yingluck di partai.
Yingluck pun tampak kurang
meyakinkan untuk serius menjadi
politisi.
Namun, skenario itu berubah.
Berdasarkan laporan yang dikirim
ke Departemen Luar Negeri AS
tertanggal 25 November 2009,
yang juga bocor di WikiLeaks,
Dubes John mencatat hasil suatu
pertemuannya dengan Yingluck.
Berbeda dengan pertemuan-
pertemuan terdahulu, Yingluck
kali ini tampil lebih siap
menjabarkan operasi, strategi,
dan tujuan partai saat bertemu
dengan John.
"Seseorang bisa dengan mudah
tampil belakangan untuk
mengambil alih kepemimpinan
partai dan mengabdi sebagai
perdana menteri berikut," kata
Yingluck saat itu, seperti dikutip
dalam laporan diplomatik AS
yang bocor. Pada 16 Mei 2011,
Yingluck bersedia dan terpilih
menjadi kandidat utama dari
Partai Pheu Thai untuk
menantang PM Abhisit pada Pemilu
di tahun itu.
Di sinilah peran kakaknya terlihat,
seperti yang dia kemukakan
dalam wawancara yang dimuat
harian Bangkok Post, 17 Mei
2011. Bagi Thaksin, Yingluck mirip
dengan dia.
"Beberapa pihak berkata dia
adalah calon saya [untuk
menjadi PM]. Itu tidak benar.
Namun bisa dikatakan Yingluck
adalah kloningan saya," kata
Thaksin saat itu. "Hal penting
lain, Yingluck adalah adik saya
dan dia bisa membuat keputusan
untuk saya. Dia bisa bilang 'ya'
atau 'tidak' atas nama saya,"
kata Thaksin.
Maka, didukung para politisi
pendukung Thaksin dan kuatnya
loyalitas rakyat di pedesaan dan
kawasan utara Thailand atas
klan Shinawatra, Partai Pheu Thai
pun menang telak menguasai 265
dari 500 kursi di parlemen pada
Pemilu 2011. Pada 6 Agustus
2011, Yingluck pun bertahta
sebagai perdana menteri
perempuan pertama di Thailand.
Tugas pertama PM Yingluck
adalah berupaya menghapus
keraguan sebagian publik dan
media massa akan kemampuannya
menjalankan roda pemerintahan.
Namanya tidak populer sebelum
mencalonkan diri sebagai
kandidat dari Partai Pheu Thai.
"Keluarga saya itu adalah
keluarga politisi, dan saya punya
pengalaman dalam bisnis serta
telah mengelola sebuah
perusahaan terdaftar di bursa
saham selama 20 tahun. Jadi
saya akan menggunakan dua
kompetensi itu membantu
Thailand jadi maju, terutama
ekonominya," kata Yingluck dalam
wawancara dengan stasiun berita
BBC tak lama setelah menang
pemilu.
Selain mengandalkan pesona
pribadi beserta jaringan yang
dibangun para sekutu dan binaan
kakaknya, janji-janji kampanye
Yingluck juga mengundang daya
tarik para pemilih. Salah satu
janjinya, seperti dikutip Xinhua,
adalah memberi perangkat
komputer gratis kepada sekitar
satu juta anak sekolah, dan
menaikkan upah minimum bagi
pekerja.
Yingluck pun saat itu berjanji
mengupayakan rekonsiliasi
nasional. Artinya tidak menaruh
dendam kepada pihak-pihak yang
telah mengkudeta Thaksin,
maupun yang mendukung dia
digulingkan dari kekuasaan. Dia
yakin, setelah bertahun-tahun
dilanda krisis politik, rakyat akan
mempercayai dia untuk
mengembalikan stabilitas
nasional.
"Selama kita bersama-sama
memecahkan masalah, saya
berharap rakyat Thailand akan
memberi saya kesempatan
membuktikan diri, dan
menunjukkan sikap tulus saya,"
kata Yingluck.
Sejak menjadi perdana menteri,
tampaknya Yingluck mampu
membawa pemerintahannya
berjalan mulus. Termasuk
menangani bencana banjir
nasional, yang menewaskan lebih
dari 500 jiwa, dan menggenangi
seperlima dari Ibu Kota Bangkok.
Pada awal 2012, seperti
diberitakan BBC, PM Yingluck
meluncurkan anggaran
kompensasi kepada para korban
akibat kerusuhan politik, antara
kubu kaos merah dengan kaos
kuning. Ini termasuk uang duka
sekitar US$63 juta kepada
keluarga korban tewas dalam
bentrokan berdarah di Bangkok
beberapa waktu sebelumnya, dan
juga kepada mereka yang
terluka, atau ditahan secara
tidak adil.
Di awal-awal pemerintahannya,
Yingluck pun tampak menjalin
hubungan baik dengan dua pihak
yang sangat penting di Thailand,
yaitu keluarga kerajaan dan
militer. Namun, beberapa
kebijakan pemerintahannya mulai
dipertanyakan. Salah satunya
adalah kebijakan subsidi beras.
Subsidi itu berupa berupa program
pemerintah membeli beras dari
para petani di atas harga pasar.
Tujuannya mendongkrak
pendapatan di pedesaan. Tapi,
subsidi itu justru memukul ekspor
beras, yang menjadi salah satu
andalan Thailand mendatangkan
devisa.
Amnesti
Kebijakan fatal bagi
pemerintahan Yingluck adalah
mengajukan rancangan undang-
undang amnesti. Undang-undang
itu berupa pengampunan bagi
mereka yang dipidana dalam
rangkaian kekerasan politik
semenjak kudeta atas PM
Thaksin, termasuk mereka yang
dipenjara akibat kerusuhan
berdarah di Bangkok pada 2010.
Undang-undang itu disetujui oleh
DPR, yang dikuasai Partai Pheu
Thai pada 1 November 2013,
sebelum akhirnya ditolak di
tingkat Senat sepuluh hari
kemudian. Namun, undang-
undang ini mengundang
kemarahan dari kubu oposisi yang
digalang Partai Demokrat di
parlemen, dan memicu kembalinya
aksi protes di Bangkok.
Bagi kelompok oposisi, proposal
Yingluck itu adalah skenario
membebaskan Thaksin dari
pidana, sehingga bisa pulang ke
negaranya tanpa harus dipenjara
atas kasus korupsi. "Intinya,
hukum amnesti itu bertujuan
membebaskan Thaksin dari
kesalahan yang dia lakukan,
menghapuskan hukumannya,
sekaligus melapangkan jalan bagi
dia untuk pulang," kata mantan
PM Abhisit Vejjajiva, yang kini jadi
pemimpin kubu oposisi di parlemen,
seperti dikutip Xinhua.
Di jalanan, aksi protes digalang
oleh mantan wakil perdana
menteri Suthep Thaugsuban,
politisi Partai Demokrat
mengundurkan diri dari anggota
parlemen. Aksi di Bangkok ini
membuat repot pemerintah, dan
berlanjut ke bentrokan berdarah
yang menewaskan empat orang
pada 1 Desember 2013.
Para pemrotes juga menuntut
Yingluck segera mundur dari
jabatan PM, dan menggelar Pemilu
baru. Selama menunggu pemilu,
mereka pun menuntut DPR, yang
dikuasai Partai Pheu Thai, diganti
oleh Dewan Rakyat untuk dihuni
orang-orang non partai politik.
Tuntutan itu tidak dipenuhi
Yingluck. Dia bersedia mundur,
tapi tidak dengan cara yang
diinginkan para demonstran
jalanan. " Sebagai Perdana
Menteri, apa saya lakukan harus
sesuai dengan konstitusi yang
berlaku di negara ini," ujar
Yingluck. Sebaliknya Suthep dan
para pendukungnya bertekad tak
akan berhenti bila tuntutan tidak
dipenuhi.
Yang tampak kemudian adalah
sebuah jalan buntu. Kedua pihak
belum mau berdialog. Para
pengamat mengatakan, situasi ini
meperburuk krisis politik di
Thailand, dan membuat
masyarakat terus terbelah.
Profesor Thitinan Pongshudirak
dari Universitas Chulalongkorn
menilai bila kubu Suthep berhasil
menyingkirkan Yingluck lewat aksi
jalanan, situasi malah akan
berbahaya. Siapapun PM baru
pasti akan digoyang pula oleh
aksi unjuk rasa dari para
pendukung Yingluck, maupun
Thaksin seperti pada aksi
berdarah 2009 dan 2010.
"Bila Suthep berhasil, bakal ada
banyak masalah di Thailand,"
kata Thitinan seperti dikutip
Xinhua. "Bila Yingluck selamat,
memang tetap akan ada masalah.
Namun, pada akhirnya bisa
teratasi dengan dikembalikannya
mandat kepada rakyat," ujar dia.
Pemilu damai mungkin jalan
keluar tercepat. Tapi, itu baru
solusi jangka pendek. Sebuah
pemecahan jangka panjang, belum
lagi terbayang.
Mirip semacam kutukan, di negeri
gajah itu, tahta perdana menteri
adalah sebuah kursi yang panas.
(np)
© VIVA.co.id

No comments:

Post a Comment